Feed subscription content brought to you by RSSFWD - Blue Sky Factory

RSSFWD

banjarnegara - Google Warta

Google Warta // via fulltextrssfeed.com

Beradu Sabet Rotan untuk Minta Hujan - KOMPAS.com
5:28:25 AM

Oleh Sumarwoto

Suara gending Banyumasan terdengar mengalun di Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jumat petang, untuk mengiringi para penari "Ujungan", yakni sebuah ritual atau seni tradisional adu sabet untuk meminta hujan kepada Sang Pencipta.

Berbagai mantra untuk memohon hujan pun diperdengarkan dalam seni tradisional yang telah berkembang di desa ini secara turun-temurun sejak tahun 1830-an.

"Ora ana udan, petani kesusahan lan kebingungan, ayo aja padha kelalen sembahyang njaluk maring Pangeran, ujungan ben cepet diparingi udan".

Kutipan mantra berbahasa Jawa ini mengandung arti "tidak ada hujan, petani kesusahan dan kebingungan, ayo jangan lupa beribadah memohon kepada Tuhan, 'ujungan' ini supaya cepat diberi hujan".

Selain itu, dua orang jago tampak menari sembari saling sabet menggunakan pemukul berupa sebatang rotan dengan panjang 75 centimeter yang dipegang tangan kanan mereka.

Para pemain memakai pelindung kepala yang terbuat dari kain tebal dan berisi sabut kelapa dengan hiasan ijuk, sedangkan tangan kiri juga memakai pelindung dari bahan yang sama.

Sarung tangan tersebut berfungsi sebagai tameng untuk menahan sabetan rotan lawan maupun untuk menangkis pukulan.

Para jago atau pemain dalam seni tradisional ini ditunjuk secara spontan oleh pemangku adat di lokasi ritual.

Pemangku adat yang bertindak sebagai "walandang" atau wasit, bertugas menengahi pertarungan antardua pemain sabet tersebut keluar dari aturan yang telah disepakati.

Aturan main dalam ritual ini, pemain hanya boleh memukul lawan di bagian pinggang ke bawah. Mereka tidak boleh memukul perut, dada, dan kepala.

Pertarungan dalam seni "Ujungan" ini berlangsung satu babak, dan ketika salah seorang pemain terkena pukul atau kesakitan, pertandingan pun diakhiri.

Konon, ritual ini berkembang saat Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon masih berbentuk Kademangan Gumelem yang dipimpin seorang demang sekitar tahun 1830-an.

Saat itu, sering terjadi perselisihan antara dua kelompok petani kademangan setempat yang berebut air untuk mengairi sawah mereka yang mengering akibat musim kemarau.

Bahkan, perselisihan tersebut sering kali mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah di antara petani.

Oleh karena itu, para sesepuh kademangan setempat menggelar upacara "Mujung" atau "Ujungan" yang berarti memohon kepada Tuhan agar diberi hujan sehingga perselisihan antarkelompok petani dapat berakhir setelah hujan turun.

Kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo mengatakan, ritual "Ujungan" ini biasa digelar warga setempat setiap kali terjadi musim kemarau yang berkepanjangan.

"Ritual minta hujan ini merupakan seni tradisional masyarakat Susukan turun-temurun sejak tahun 1830 meskipun tidak setiap tahun digelar. Ritual ini terakhir digelar sekitar tiga tahun lalu," katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan, masyarakat tidak bisa sembarangan menggelar ritual adu sabet menggunakan rotan ini karena harus melalui musyawarah para tetua adaT lebih dulu.

Bahkan, kata dia, para peserta "Ujungan" tidak saling dendam meskipun terjadi saling serang hingga ada yang terluka dan berlumuran darah. "Seni adu sabet ini sempat memakan korban tetapi hal itu tidak mengakibatkan saling dendam. Kepercayaan selama ini, kalau sudah digelar 'Ujungan' akan segera turun hujan, dan konon darah yang mengucur dari para penari 'Ujungan' ini sebagai simbol akan turun hujan," kata dia menjelaskan.

Seorang warga, Sujadi (65) mengatakan, peserta "Ujungan" bukan orang sembarangan meskipun mereka ditunjuk langsung oleh pemangku adat di lokasi ritual.

Bahkan, kata dia, para peserta sering kali belum pernah saling mengenal. "Peserta 'Ujungan' biasanya memiliki kekuatan supranatural dan merupakan keturunan orang sakti. Meskipun mereka terluka akibat sabetan rotan, lukanya dapat segera sembuh," katanya.

Menurut dia, aturan main dalam ritual "Ujungan" saat ini telah banyak mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.

"Dulu sasarannya bebas, tetapi seiring berjalannya waktu hanya seputar kaki. Bahkan zaman saya dulu, sempat ada yang meninggal di lokasi ritual, dan itu hal yang biasa serta tidak ada dendam," katanya.

Meskipun peserta "Ujungan" ditunjuk secara spontan, kata dia, warga sering kali telah mempersiapkan diri sedini mungkin termasuk melakukan ritual khusus atau tirakat setelah mereka mendapat kabar dari pemangku adat terkait penyelenggaraan upacara "Mujung" tersebut.

Menurut dia, hal ini dilakukan agar mereka tidak mengalami luka yang cukup berarti akibat pertarungan dalam ritual "Ujungan".

Seorang peserta "Ujungan", Sudiono mengaku tidak melakukan persiapan khusus untuk mengikuti ritual ini.

"Saya tidak melakukan persiapan khusus meskipun ritual ini merupakan tradisi turun-temurun. Saya hanya mendekatkan diri kepada Tuhan dan percaya bahwa segala sesuatu yang bakal terjadi merupakan kehendak-Nya," kata dia.

Sementara "walandang" atau wasit dalam pertarungan "Ujungan", Muharjo (50) mengatakan, ritual ini sebenarnya mengandung pesan moral bagi warga agar saling bersilaturahmi sembari memohon hujan kepada Tuhan.

"Ujungan tidak sekadar adu ketangkasan dan keberanian beradu pukul, tetapi juga mengandung pesan moral berupa ajakan kepada warga untuk saling bersilaturahmi sembari memohon hujan kepada Tuhan," katanya.



RSSFWD - From RSS to Inbox You are subscribed to email updates from BlueSkyFactory - RSSFWD
To stop receiving these emails, you may unsubscribe now.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masuk SD Negeri 4 Krandegan Banjarnegara dipungut Rp 1,3 juta

BANJARNEGARA : TANPA PERBAIKAN JALAN; Desa Wisata Gumelem Sulit Terwujud

Banjarnegara : Mayat wanita di Waduk Mrica ternyata korban bunuh diri